Oleh :
IMAN SOLIKHIN, S.Sos., M.A.P.
(Penyuluh KB Ahli Madya Kabupaten Brebes)
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, akan tetapi kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia dua tahun. Menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021, stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Menurut hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Tahun 2021, prevalensi balita stunting di Indonesia sebanyak 24,4%. Angka tersebut turun menjadi sekitar 21,6% berdasarkan hasil SSGI Tahun 2022 (https://www.kemkes.go.id/).
Dalam kerangka pembangunan kualitas sumber daya manusia, permasalahan stunting yang merupakan salah satu bagian dari double burden malnutrition (DBM) mempunyai dampak yang sangat merugikan baik dari sisi kesehatan maupun dari sisi produktivitas ekonomi dan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, stunting terkait dengan perkembangan sel otak yang akhirnya akan menyebabkan tingkat kecerdasan menjadi tidak optimal. Hal ini berarti bahwa kemampuan kognitif anak dalam jangka panjang akan lebih rendah dan akhirnya menurunkan produktifitas dan menghambat pertumbuhan ekonomi. (BKKBN, 2021).
Resiko lain, anak-anak dengan gangguan pertumbuhan dan perkembangan lebih mudah untuk mengalami penyakit infeksi. Kondisi ini dapat terjadi pula hingga anak-anak menjelang dewasa. Anak-anak dengan riwayat gangguan pertumbuhan dan perkembangan memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung dan risiko terhadap keganasan (kanker). Risiko kejadian stunting juga memungkinkan untuk berlanjut pada generasi selanjutnya.
Melihat dampak stunting yang begitu luar biasa bagi keberlangsungan generasi penerus bangsa, maka upaya penanganan stunting harus dilakukan secara paripurna, komprehensif, terpadu dan bersifat multisektoral. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengintensifkan pendampingan terhadap keluarga yang berisiko melahirkan bayi stunting. Pendampingan ini fokus dilakukan mulai pada periode remaja serta calon pengantin, pada masa kehamilan dan pada masa pascapersalinan, serta terus didampingi hingga anak berusia lima tahun. Pendampingan pada masa-masa tersebut merupakan upaya agar segenap intervensi sensitif maupun intervensi spesifik yang diberikan dapat dipastikan sampai kepada penerima manfaat dan mempunyai dampak nyata.
Pendekatan berbasis keluarga berisiko stunting merupakan sebuah pendekatan yang dilakukan sebagai upaya memastikan seluruh intervensi baik spesifik maupun sensitif dapat menjangkau seluruh keluarga yang mempunyai resiko melahirkan anak stunting. Upaya pendekatan berbasis keluarga risiko stunting diharapkan mampu menjadi pemicu sekaligus pemacu dalam meningkatkan kinerja dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting.
Pendampingan Keluarga merupakan salah satu pembaruan strategi percepatan penurunan stunting yang dilaksanakan melalui pendekatan keluarga dalam menjangkau kelompok sasaran, yakni calon pengantin (catin), ibu hamil dan menyusui, dan anak 0-59 bulan. Secara konsep, pendampingan keluarga adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan terhadap keluarga yang memiliki ibu hamil, ibu pascapersalinan, anak usia dibawah 5 tahun (balita), serta calon pengantin/calon pasangan usia subur untuk deteksi dini faktor risiko stunting dan melakukan upaya meminimalisir atau pencegahan dari faktor risiko stunting.
Melihat betapa pentingnya pendampingan berbasis keluarga, khususnya terhadap ibu hamil sebagai salah satu upaya untuk mencegah peningkatan angka prevalensi stunting, maka sejak tahun 2022 yang lalu Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membentuk Tim Pendamping Keluarga (TPK). Tim Pendamping Keluarga (TPK) merupakan sekelompok tenaga pendamping yang terdiri dari Bidan/ Tenaga Medis Lain, Kader Tim Penggerak PKK dan Kader KB yang melaksanakan pendampingan kepada Calon Pengantian/Calon Pasangan Usia Subur dan keluarga berisiko stunting yang meliputi penyuluhan, fasilitasi pelayanan rujukan, fasilitasi penerimaan program bantuan sosial serta surveilans untuk mendeteksi dini faktor risiko stunting.
Sementara, tugas khusus Tim Pendamping Keluarga, mencakup:
1) Melakukan skrining 3 (tiga) bulan pranikah kepada calon pengantin untuk mengetahui faktor risiko Stunting, memberikan edukasi serta memfasilitasi catin yang memiliki faktor risiko Stunting dalam upaya menghilangkan faktor tersebut;
2) Melakukan pendampingan kepada semua ibu hamil dengan melakukan pemantauan/pemeriksaan kehamilan secara berkala, melakukan KIE KB Pascapersalinan, dan memfasilitasi rujukan jika diperlukan;
3) Melakukan pendampingan pascasalin dengan melakukan promosi danKIE KB pascapersalinan, memastikan ibu pasca salin sudah menggunakan KB Pascapersalinan MKJP, dan memastikan tidak terjadi komplikasi masa nifas;
4) Melakukan pendampingan pengasuhan dan tumbuh kembang anak dibawah 5 tahun (balita) dengan melakukan skrining penilaian faktor risiko stunting, memastikan bayi mendapat ASI ekslusif selama 6 bulan, bayi diatas 6 bulan mendapat MP-ASI dengan gizi cukup, dan mendapat imunisasi dasar lengkap sesuai jadwal;
5) Memastikan keluarga mendapatkan bantuan sosial dan memastikan program bantuan sosial dimanfaatkan dengan benar.
(Modul Kebijakan dan Strategi Percepatan Penurunan Stunting di Indonesia, BKKBN : 2021).
Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh TPK dalam upaya pencegahan stunting adalah pendampingan terhadap ibu hamil. Kegiatan pendampingan terhadap ibu hamil ini dilakukan secara bersama-sama oleh anggota TPK, baik dari unsur Bidan/ tenaga medis lainnya, unsur Kader PKK dan unsur Kader KB, dengan cara mengunjungi ibu hamil dari rumah ke rumah. Selain melalui kunjungan rumah, kegiatan pendampingan terhadap ibu hamil oleh TPK juga kerapkali dilakukan melalui kegiatan Posyandu, kelas ibu hamil ataupun kegiatan lainnya.
Pada saat melakukan kegiatan pendampingan terhadap ibu hamil, TPK biasanya akan memastikan kondisi kesehatan ibu hamil dan juga kondisi kehamilannya. Selain melakukan pelayanan dan pemeriksaan, TPK juga melakukan KIE/ edukasi terhadap ibu hamil yang didampingi tentang pentingnya menjaga kehamilan dengan baik, melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin dan teratur, menjaga asupan makanan yang bergizi dan juga tentang pentingnya menggunakan kontrasepsi sesaat setelah melahirkan (KB Pasca Persalinan). TPK juga melakukan fasilitasi pelayanan dan rujukan, serta fasilitasi bantuan sosial, jika diperlukan.
Rangkaian kegiatan pendampingan terhadap ibu hamil yang dilakukan oleh TPK ini kemudian dicatat, didokumentasikan dan dilaporkan secara berjenjang melalui Satuan Koordinator Pelayanan KB Kecamatan. Selain itu, TPK juga melaporkan dan melakukan input hasil pendampingan terhadap ibu hamil melalui aplikasi/ web ELSIMIL.
Periode kehamilan merupakan periode kritis kedua yang menentukan terjadinya kasus stunting. Seribu hari sejak wanita hamil sampai dengan anak merayakan hari ulang tahun kedua menjadi “jendela peluang” masa depan anak yang sehat dan sejahtera, oleh karenanya seluruh ibu hamil harus dilakukan pendampingan pada seluruh periode kehamilannya. Dalam periode kehamilannya Ibu hamil akan memperoleh beberapa assessment (penapisan) untuk memperoleh profil kesehatannya dan menentukan intervensi yang harus dilakukan, baik intervensi gizi sensitif maupun intervensi gizi spesifik selama periode kehamilannya. Dengan demikian, seluruh ibu hamil terfasilitasi kebutuhan kesehatannya, gizinya, pengetahuan tentang stunting, maupun aspek mental dan psikologisnya. Jadi perhatian khusus sejak terjadinya kehamilan sampai dengan anak berusia dua tahun adalah upaya untuk menggiring perkembangan sumber daya manusia pada generasi yang akan datang. Inilah yang menjadi alasan kenapa pendampingan terhadap ibu hamil yang dilakukan oleh TPK dan juga oleh elemen masyarakat lainnya merupakan salah satu prioritas pendekatan keluarga berisiko dalam upaya percepatan penurunan stunting.