Penulis : Iman Solikhin S.Sos., M.A.P. (Ketua DPC IPeKB Indonesia Kabupaten Brebes/Pengurus Koalisi Kependudukan Indonesia Kabupaten Brebes)
Perkawinan atau yang lebih sering disebut dengan pernikahan adalah peristiwa sakral dalam perjalanan hidup dua individu. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Banyak orang yang melangsungkan pernikahan dengan tujuan dan harapan karena ingin memiliki pasangan hidup, berkeinginan mempunyai keturunan dan menyempurnakan akhlak.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1), perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Serta Pasal 2 ayat (2) menyatakan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga setiap perkawinan harus tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
Berbicara tentang pernikahan, maka belakangan ini ada satu fenomena yang cukup menarik untuk kita cermati yakni semakin menurunnya angka pernikahan di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pernikahan di Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 1.577.255. Sementara pada tahun 2022, jumlah pernikahan di Indonesia sebanyak 1.705.348. Bahkan dalam satu dekade terakhir angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan sebanyak 26,83 persen. (https://www.detik.com/jatim/berita/d-7255222/angka-pernikahan-di-indonesia-menurun-ini-penjelasan-pakar).
Terkait dengan semakin menurunnya angka pernikahan di Indonesia tersebut, menurut pandangan penulis selaku Penyuluh KB, dikarenakan ketidaksiapan (atau lebih tepatnya belum siap) dari para remaja dan para dewasa untuk secara serius memasuki kehidupan berkeluarga. Menurut penulis setidaknya terdapat tiga ketidaksiapan untuk melangsungkan pernikahan.
Pertama, ketidaksiapan secara ekonomi. Banyak individu yang menunda melangsungkan pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah karena merasa belum memiliki kesiapan secara ekonomi. Untuk dapat melangsungkan sebuah pernikahan, banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh pasangan calon pengantin. Bahkan di beberapa daerah, karena faktor budaya dan kebiasaan, biaya yang dikeluarkan dapat mencapai ratusan juta rupiah. Angka tersebut tentu dirasa memberatkan bagi calon pengantin yang secara penghasilan belum mencukupi.
Selain untuk prosesi pernikahan, hal lain yang kemungkinan menjadi pertimbangan seseorang untuk menunda atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah adalah kekhawatiran terkait dengan biaya hidup pasca menikah, terlebih setelah mempunyai anak. Dengan hadirnya anak, maka dengan sendirinya kebutuhan keluarga pun akan bertambah, seperti misalnya untuk mencukupi gizi anak, pendidikan anak, dan sebagainya. Sementara untuk saat ini, pendapatan yang dimiliki dirasa belum mencukupi untuk menopang kebutuhan keluarga yang semakin bertambah, jika kelak menikah dan mempunyai anak.
Dari sisi ekonomi ini, ketidaksiapan juga dapat berupa ketidaksiapan untuk kehilangan karir dan penghasilan yang saat ini dimiliki. Banyak individu, terutama kaum perempuan yang saat ini sudah mempunyai penghasilan yang cukup bahkan berlebih dan karir yang mapan di tempat kerjanya, memutuskan untuk menunda atau bahkan tidak menikah. Mereka beralasan, jika menikah kemudian melakukan serangkaian cuti, maka akan berpotensi dikeluarkan dari pekerjaan yang saat ini mereka tempati. Ini artinya mereka akan kehilangan pendapatan dan karir yang sudah dirintis selama sekian tahun. Sementara, untuk kembali mendapatkannya bukan sesuatu yang mudah.
Kedua, ketidaksiapan secara psikologis. Pernikahan sejatinya merupakan sebuah upaya dari dua individu untuk membangun kehidupan bersama menuju keluarga yang bahagia dan sejahtera. Namun terkadang dalam perjalanannya, banyak kasus-kasus yang mewarnai kehidupan sebuah keluarga. Kasus kekerasan dalam rumah tangga misalnya, merupakan kasus yang kerap ditemui dalam sebuah keluarga. Bentuknya pun bermacam-macam mulai dari kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, kekerasan psikis sampai kekerasan secara fisik. Korbannya pun bervariasi, namun yang kerap menjadi korban dalam kasus KdRT adalah perempuan dan anak.
Konflik dalam rumah tangga yang berkepanjangan bahkan kerapkali berujung pada perceraian. Bahkan jika berbicara statistik, angka perceraian di Indonesia cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Perceraian ini tidak hanya terjadi pada keluarga yang selama ini terlihat sering terjadi konflik, namun banyak terjadi juga pada keluarga yang selama ini terlihat baik-baik saja.
Kondisi sebagaimana di atas, secara tidak langsung ikut mempengaruhi kondisi psikologis orang-orang ketika mempunyai keinginan untuk menikah. Pengalaman dan kejadian buruk yang dialami oleh pasangan yang sudah menikah, membuat mereka berpikir sekian kali untuk melangsungkan pernikahan. Terlebih jika kasus-kasus tersebut dialami oleh orang-orang terdekatnya, entah itu orang tuanya, saudaranya atau tetangganya. Bahkan bisa jadi kasus yang dialami oleh figur idola, dapat mempengaruhi sisi psikologisnya.
Hal inilah yang bisa jadi ikut memberikan kontribusi kenapa orang memutuskan untuk menunda pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah sama sekali. Karena mereka takut dan khawatir jika kelak mereka menikah akan mengalami perlakuan seperti yang dialami oleh orang lain diperlakukan secara kasar oleh pasangannya misalnya. Mereka juga takut dan khawatir jika kelak mereka menikah akan mengalami kegagalan dan berujung pada perceraian.
Ketiga, ketidaksiapan dari sisi keterampilan hidup. Keterampilan hidup adalah kemampuan yang dimiliki individu dalam mengembangkan berbagai kapasitas untuk memenuhi peran di dalam keluarga seperti menjaga kebersihan rumah tangga, merawat dan mengasuh anak, melayani suami, dan sebagainya. Apabila individu dapat mempersiapkan keterampilan hidup dengan baik maka dapat saling bekerja sama dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Dalam hal ini dapat mewujudkan kepuasan dan kesejahteraan keluarga. Dampak positif jika individu memiliki kesiapan keterampilan hidup maka dapat menjalankan peran suami istri dengan optimal sehingga dapat mewujudkan ketahanan keluarga yang baik.
Jika kita melihat dan mencermati generasi muda jaman sekarang, sangat berbeda dengan generasi muda jaman dahulu, terutama jika dilihat dari sisi keterampilan hidup. Kehidupan yang serba praktis dan instant, ditambah dengan pola asuh orang tua yang cenderung memanjakan anak, menjadikan anak-anak jaman sekarang kurang memiliki keterampilan hidup yang sejatinya itu akan sangat bermanfaat ketika kelak mereka memasuki ranah rumah tangga. Hal yang terlihat sepele, menyapu halaman dan rumah misalnya, banyak generasi muda sekarang yang tidak cakap untuk melakukannya. Belum lagi pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya.
Kondisi ini, meskipun mungkin tidak siginifikan tapi bisa jadi akan ikut berkontribusi pada keputusan orang-orang untuk menunda pernikahan atau bahkan tidak menikah sama sekali. Mereka sudah membayangkan betapa rumitnya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, mulai dari memasak, menyapu, merawat anak, melayani suami dan sebagainya. Sebuah pekerjaan yang bahkan selama ini tidak pernah mereka lakukan, ketika masih tinggal dan hidup bersama orang tuanya.
Demikianlah, meski bagi sebagian orang menikah merupakan sebuah kenikmatan yang luar biasa, namun banyak juga yang masih mempertimbangkan banyak hal untuk melangsungkan sebuah pernikahan. Dan fenomena semakin menurunnya angka pernikahan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir merupakan bukti nyata atas hal tersebut.