Habis Lebaran, Tradisi Nyumbang Kondangan

Bulan syawal yang sebentar lagi akan tiba kerapkali diidentikan dengan bulan yang penuh dengan moment orang hajatan. Tidak salah jika kemudian muncul semacam anekdot “habis lebaran, terbitlah kondangan”. Ya karena ketika tiba musim hajatan, artinya terbit pula musim kondangan atau dalam beberapa kultur masyarakat disebut dengan istilah nyumbang.

Budaya/ tradisi nyumbang sejatinya merupakan tradisi untuk membantu sebuah keluarga yang sedang mengadakan kegiatan hajatan, baik dalam rangka khitanan, perkawinan maupun bentuk perayaan lainnya. Jika menggunakan istilah kondangan, maka maknanya akan lebih jelas lagi yakni kon dangan yang artinya biar ringan. Nyumbang mempunyai bentuk yang bermacam-macam. Ada kalanya orang nyumbang berupa uang dan ada pula yang nyumbang dalam bentuk barang. Tradisi nyumbang mempunyai kaitan dengan ikatan sosial yang kuat.

Seseorang yang hidup di masyarakat, kebanyakan tidak berani untuk tidak ikut dalam tradisi nyumbang. Orang yang tidak terlibat dalam tradisi nyumbang dapat dianggap sebagai orang yang antisosial (Mustofa, 2005 : 78). Ia akan mendapatkan sanksi moral berupa perasaan bersalah dan malu, terlebih jika bertemu dengan orang/ keluarga yang harus disumbang. Bahkan tidak jarang akan menjadi bahan perbincangan atau gunjingan masyarakat.

Tradisi nyumbang sampai saat ini masih tetap bertahan dan eksis. Hal ini dikarenakan tradisi tersebut sudah melekat kuat dalam pola kehidupan masyarakat. Masyarakat tradisional selalu memuji tradisi yang diwariskan turun temurun. Masyarakat sudah merasa nyaman dan aman dengan tradisi yang dijalankannya. Selain itu, masyarakat menganggap apa yang dilakukannya merupakan sebuah kegiatan yang positif.

Tradisi nyumbang juga tidak mudah diubah begitu saja, karena telah diintrospeksikan dalam jiwa dan keyakinan para anggota masyarakat seperti halnya terjadi dalam proses sosialisasi. Sebuah tradisi akan tetap dipertahankan jika terdapat nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan yang dianggap sangat penting dan tinggi (Ranjabar, 2015 : 8). Dalam tradisi nyumbang terdapat nilai-nilai gotong royong, saling berbagi dan nilai kebersamaan.

Tradisi nyumbang juga dianggap mampu menjadi media untuk memperkuat tali silaturahmi, terutama diantara anggota keluarga. Dalam kultur Jawa ada istilah ngumpulke balung pisah, yang artinya kurang lebih mengumpulkan sanak saudara yang selama ini hidup terpencar. Hal ini salah satunya dapat dilakukan ketika ada momentum kegiatan hajatan.

  Dalam konteks budaya modern, tradisi nyumbang juga sejatinya mendorong masyarakat untuk bekerja lebih keras lagi. Sebab dalam konteks kekinian, tradisi nyumbang kerapkali dijadikan ajang untuk mengejar prestasi dan prestise. Orang akan berlomba-lomba untuk bisa menjadi “tuan rumah” yang baik. Aneka macam suguhan dihidangkan. Tidak lupa aneka hiburan pun ditampilkan. Di sisi lain, bagi yang akan menjadi tamu undangan tentu harus mempersiapkan anggaran lebih untuk nyumbang, terlebih jika musim hajatan tiba secara bersamaan.

Motivasi untuk bekerja keras dengan harapan untuk mendapatkan prestasi dan prestise yang lebih baik dibandingkan orang lain merupakan salah satu karakter manusia modern. Inilah yang menurut penulis tergambar melalui tradisi nyumbang.  Menurut McClelland (dalam Thoha, 2012 : 236), salah seorang teoretisi dalam aliran modernisasi, seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan melakukan suatu karya yang berprestasi lebih baik dari prestasi karya orang lain.

Meskipun mendapat serangan dari proses modernisasi, namun tradisi nyumbang sampai saat ini masih tetap bertahan dan berkembang dengan baik. Proses adaptasi terhadap perubahan merupakan salah satu kuncinya. Selain itu, tradisi tersebut juga mampu menyelaraskan diri dengan nilai-nilai modernitas seperti nilai-nilai eknomis dan kepraktisan serta spirit/kebutuhan untuk berprestasi sebagaimana yang dikemukakan oleh David McClleland.

*) Penulis : IMAN SOLIKHIN, S.Sos., M.A.P. (Tinggal di Bumiayu Kabupaten Brebes)

 

REFERENSI

Mustofa, M. Solehatul. 2005. Kemiskinan Masyarakat Petani Desa Di Jawa. Semarang : UNNES Press.

Ranjabar, Jacobus SH., M.Si. 2015. Perubahan Sosial, Teori-teori dan Proses Perubahan Sosial serta Teori Pembangunan. Bandung ; Penerbit Alfabeta.

Thoha, Miftah. 2012. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Sumber Foto : https://pixabay.com/id/images/search/undangan%20pernikahan/ diakses pada tanggal 07 April 2024

Share the Post:

Berita Terbaru